Logos Indonesia – Flexing merupakan fenomena yang sering kita lihat, khususnya di media sosial. Ketika kamu melihat suatu akun yang berisikan harta benda yang mewah dan kehidupan yang sangat mewah. Mungkin saja itu menjadi contoh dari fenomena flexing.
Namun terkadang ada orang yang memaksakan diri untuk bisa melakukan flexing. Mereka memiliki finansial berada di rata-rata orang pada umumnya. Tapi karena terpengaruh oleh media sosial yang dia lihat, maka dirinya ingin menunjukkan kemampuannya untuk bisa belanja barang-barang mewah. Walaupun di satu sisi secara finansial tidak mampu. Perilaku inilah yang sangat berbahaya. Karena memaksa diri untuk dianggap memiliki status sosial yang tinggi.
Apa Itu Flexing?
Dilansir dari Merdeka, flexing merupakan gambaran seseorang yang selalu menunjukkan kemewahannya atau barang mewahnya di media sosial untuk ajang pamer. Mereka menginginkan perhatian publik untuk barang-barang mewahnya sebagai identitas dirinya.
Dalam sudut pandang ilmu ekonomi, fenomena flexing ini dikategorikan sebagai konsumsi yang mencolok. Mereka sengaja membiarkan orang lain tahu bahwa dirinya membeli barang-barang mewah. Perilaku ini memiliki tujuan untuk menunjukkan status atau kekuatan ekonominya di mata masyarakat. Jadi secara garis besar, flexing ini sebagai ajang pamer untuk menunjukkan status dirinya di mata masyarakat.
Baca Artikel Kami Lainnya: Tips Mengatasi Celebrity Worship Syndrome.
Fenomena ini banyak ditemui di masyarakat zaman sekarang. Di mana perkembangan teknologi makin berkembang pesat dan manusia lama-kelamaan tergantung dengan teknologi, khususnya media sosial. Terdapat pergeseran untuk menunjukkan status dirinya di masyarakat. Pada zaman sekarang, media sosial sangat berperan untuk mengembangkan image diri untuk memperkenalkan dirinya di mata masyarakat.
Sejarah Flexing
Istilah flashing sendiri sudah dikenal sejak tahun 1899 oleh Thorstein Veblen dalam bukunya berjudul, “The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions”. Menurut Thorstein Veblen, terdapat pergeseran cara memandang seseorang untuk bisa diterima secara sosial, yaitu orang yang memiliki penampilan yang menarik, orang yang kaya, dan orang yang populer. Jika seseorang bukan dari ketiga kategori tersebut, maka kemungkinan besar orang tersebut sulit diterima oleh orang lain.
Tentu saja penjelasan Thorstein Veblen relevan dengan zaman sekarang di media sosial. Bahwa orang yang memiliki paras yang menarik, orang yang menampilkan kekayaannya, ataupun seorang artis yang sudah populer pasti memiliki banyak pengikut di akun media sosialnya. Mereka menjadi sorotan banyak orang saat aktivitas mereka diperlihatkan pada khalayak umum.
Baca Artikel Kami Lainnya: Celebrity Worship Syndrome, Mengidolakan Idola Secara Berlebihan.
Karena itu, di media sosial banyak orang yang berlomba-lomba untuk memamerkan kehidupannya yang terlihat mewah ataupun barang-barang mewah lainnya. Semua hal tersebut dilakukannya untuk mendapatkan pengakuan dari banyak orang.
Kenapa Orang Melakukan Flexing?
Kenapa orang melakukan flexing? Tentu saja memiliki maksud sosial yang memberikan rasa puas pada diri sendiri ketika mendapatkan pengakuan dari orang lain. Berdasarkan penelitian, disimpulkan bahwa seseorang dalam media sosialnya hanya memposting untuk menunjukkan sisi baik dari hidupnya. Tentu saja, pilihan ini untuk membangun citra diri yang baik di media sosial.
Karena itu, setiap orang akan memilah-milah kembali untuk di posting ke media sosial untuk dibagikan kepada banyak orang. Hal ini menentukan bagaimana orang tersebut ingin dinilai oleh banyak orang. Jadi itu adalah hal wajar jika kamu hanya memposting hal-hal yang menurutmu baik dan menyenangkan.
Tujuan lainnya dari Flexing adalah untuk menarik lawan jenis sebagai ajak mrnarik jodoh. Karena itu, kamu berusaha untuk terlihat cantik atau ganteng, kaya, humoris, dan sisi positif lainnya di media sosial, agar terlihat menarik di mata lawan jenis. Hal ini sesuai dengan pemahaman konsumerisme untuk menarik lawan jenis.
Media sosial sebagai mendapatkan pengakuan status di masyarakat menjadi sangat penting. Karena masyarakat masih memandang status yang tinggi sebagai hal yang sangat menarik. Seseorang yang selalu memakai pakaian yang bermerek, memperlihatkan mobil mewahnya, sering berlibur ke luar negeri dan perilaku yang menunjukkan status tinggi lainnya akan selalu menjadi tren dan standar nilai di masyarakat. Namun jika tren ini memaksa dirinya untuk terus tampil mewah ntanpa memperhatikan finansial sebenarnya. Maka hal tersebut hanya akan berdampak negatif saja.
Dilansir dari linovhr, terdapat beberapa tujuan mereka melakukan flexing. Tujuan tersebut menjadi kesimpulan dari pertanyaan, Mengapa seseorang rela melakukan flexing walaupun realitanya tidak seperti itu.
- Menumbuhkan rasa percaya diri.
- Menarik perhatian orang lain dan lawan jenis.
- Membuktikan kemampuan.
- Memamerkan status sosial.
- Strategi marketing.
Namun jika terlalu memaksa, maka akan berpotensi untuk merusak kesehatan mental. Jika terlalu fokus pada pandangan orang lain, maka Mungkin saja akan memiliki risiko untuk depresi, stres, dan rendah diri jika tidak melakukannya.