Mengenal Tahap Perkembangan Psikososial Menurut Erik Erikson

Tahapan ini mempengaruhi cara berinteraksi dengan orang lain, memahami diri sendiri, dan membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.

Logos Indonesia Tahap perkembangan psikososial menurut Erik Erikson sangat penting untuk dipahami karena tahap-tahap tersebut membentuk dasar perkembangan psikologis seseorang dari masa bayi hingga dewasa. Tahap-tahap ini mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan orang lain, memahami diri sendiri, dan membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.

Baca Artikel Kami Lainnya: Biografi Erikson: Pengembangan Teori Psikoanalisis

Trust vs. Mistrust (Keyakinan vs. Ketidakpercayaan)

Tahap pertama, Trust vs. Mistrust (Keyakinan vs. Ketidakpercayaan), dimulai dari lahir hingga usia dua tahun. Pada tahap ini, kita belajar untuk mempercayai atau tidak mempercayai dunia di sekitar kita. Bayi yang dirawat dengan baik dan diberi perhatian akan merasa aman dan nyaman. Namun, jika bayi tidak merasa aman dan nyaman, maka mereka akan merasa takut dan tidak percaya terhadap dunia sekitar mereka.

Contoh pada kehidupan nyata adalah seorang bayi yang tumbuh dalam lingkungan yang aman dan terawat dengan baik akan merasa nyaman ketika ditinggal oleh orang tuanya. Sebaliknya, bayi yang tidak merasa aman dan terus-terusan merasa ditinggalkan, akan sulit untuk percaya pada orang lain dan merasa tidak aman.

Autonomy vs. Shame and Doubt (Otonomi vs. Rasa Malu dan Keraguan)

Tahap kedua, Autonomy vs. Shame and Doubt (Otonomi vs. Rasa Malu dan Keraguan), dimulai pada usia 2-3 tahun. Pada tahap ini, kita belajar untuk memahami keinginan dan kemauan kita sendiri dan mulai mengembangkan otonomi. Namun, jika lingkungan tidak memberikan kesempatan untuk berkembang, maka kita akan merasa malu dan ragu untuk mencoba hal-hal baru.

Contoh pada kehidupan nyata adalah ketika anak kecil mencoba untuk mengikat tali sepatunya sendiri dan berhasil melakukannya, maka ia akan merasa bangga dan senang karena merasa berhasil melakukan hal tersebut. Sebaliknya, jika orang dewasa terlalu melindungi anak kecil dan tidak memberikan kesempatan untuk mencoba hal-hal baru, maka anak tersebut akan merasa malu dan ragu untuk mencoba hal-hal baru.

Initiative vs. Guilt (Inisiatif vs. Rasa Bersalah)

Tahap ketiga, Initiative vs. Guilt (Inisiatif vs. Rasa Bersalah), dimulai pada usia 3-6 tahun. Pada tahap ini, kita belajar untuk mengambil inisiatif dan melakukan tindakan yang produktif. Namun, jika kita ditekan untuk selalu melakukan sesuatu yang benar atau kita merasa bersalah karena melakukan hal yang tidak benar, maka kita akan merasa cemas dan tidak aman.

Contoh pada kehidupan nyata adalah ketika anak kecil mencoba untuk membuat kue sendiri dan berhasil, maka ia akan merasa senang dan puas karena merasa berhasil melakukan hal tersebut. Sebaliknya, jika orang dewasa terlalu menuntut dan mengharapkan anak untuk selalu melakukan hal yang benar, anak akan merasa tertekan dan merasa tidak mampu untuk mengambil inisiatif.

Industry vs. Inferiority (Industri vs. Rendah Diri)

Tahap keempat, Industry vs. Inferiority (Industri vs. Rendah Diri), dimulai pada usia 6-12 tahun. Pada tahap ini, kita belajar untuk menjadi produktif dan bekerja keras untuk mencapai tujuan. Namun, jika kita tidak dapat mencapai tujuan atau tidak diberikan kesempatan untuk belajar dan berkembang, maka kita akan merasa rendah diri.

Contoh pada kehidupan nyata adalah ketika seorang anak berusia 7 tahun berhasil membuat proyek sekolah yang kreatif dan inovatif, ia akan merasa bangga dan bersemangat untuk melakukan hal yang serupa di masa depan. Sebaliknya, jika anak tersebut tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilannya atau gagal dalam mencapai tujuan, ia akan merasa tidak percaya diri dan rendah diri.

Identity vs. Role Confusion (Identitas vs. Bingung Peran)

Tahap kelima, Identity vs. Role Confusion (Identitas vs. Bingung Peran), dimulai pada usia 12-18 tahun. Pada tahap ini, kita belajar untuk mencari dan menemukan identitas kita sendiri. Kita mencari nilai-nilai, kepercayaan, dan peran dalam masyarakat. Jika kita tidak dapat menemukan identitas kita sendiri, maka kita akan merasa bingung dan tidak tahu arah.

Contoh pada kehidupan nyata adalah ketika seorang remaja berusia 15 tahun mencoba untuk menemukan identitasnya sendiri dan menemukan bahwa dia menyukai musik dan ingin menjadi musisi di masa depan. Dia akan merasa lebih percaya diri dan memiliki tujuan dalam hidup. Sebaliknya, jika remaja tersebut tidak dapat menemukan identitasnya sendiri, ia akan merasa bingung dan tidak tahu arah dalam hidup.

Intimacy vs. Isolation (Intimasi vs. Isolasi)

Tahap keenam, Intimacy vs. Isolation (Intimasi vs. Isolasi), dimulai pada usia 18-40 tahun. Pada tahap ini, kita belajar untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang lain. Jika kita tidak dapat membentuk hubungan yang sehat, maka kita akan merasa kesepian dan terisolasi.

Contoh pada kehidupan nyata adalah ketika seseorang mulai mencari pasangan hidup dan membangun hubungan yang sehat, ia akan merasa bahagia dan merasa diterima oleh orang lain. Sebaliknya, jika seseorang kesulitan membentuk hubungan yang sehat dan merasa kesepian, ia akan merasa terisolasi dan tidak merasa diterima oleh orang lain.

Generativity vs. Stagnation (Generativitas vs. Stagnasi)

Tahap ketujuh, Generativity vs. Stagnation (Generativitas vs. Stagnasi), dimulai pada usia 40-65 tahun. Pada tahap ini, kita belajar untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan generasi berikutnya. Jika kita tidak dapat memberikan kontribusi positif, maka kita akan merasa stagnan dan tidak ada artinya.

Contoh pada kehidupan nyata adalah ketika seseorang mencoba memberikan kontribusi positif pada masyarakat, seperti menjadi relawan atau menyumbangkan uang untuk amal, maka mereka akan merasa memiliki arti dan tujuan dalam hidup. Sebaliknya, jika seseorang tidak memberikan kontribusi positif, mereka akan merasa stagnan dan merasa tidak ada artinya dalam hidup.

Ego Integrity vs. Despair (Integritas Ego vs. Putus Asa)

Tahap terakhir, Ego Integrity vs. Despair (Integritas Ego vs. Putus Asa), dimulai pada usia 65 tahun ke atas. Pada tahap ini, kita mengevaluasi kehidupan kita dan mempertanyakan apakah hidup kita berarti dan memiliki makna. Jika kita merasa bahwa hidup kita telah bermakna dan kita telah mencapai apa yang ingin kita capai, maka kita akan merasa puas dan bahagia. Namun, jika kita merasa tidak puas dengan kehidupan kita dan merasa tidak memiliki arti, maka kita akan merasa putus asa.

Baca Artikel Kami Lainnya: Pentingnya Mendeteksi Red Flag pada Diri Sendiri: Hindari Perilaku yang Merugikan Diri Sendiri.

Contoh pada kehidupan nyata adalah ketika seseorang mencapai usia 80 tahun dan mengevaluasi kehidupan mereka, mereka akan merasa puas jika mereka telah mencapai tujuan dan telah memberikan kontribusi positif pada masyarakat. Namun, jika seseorang merasa tidak puas dengan kehidupan mereka, misalnya merasa bahwa mereka tidak mencapai apa yang mereka inginkan atau tidak memberikan kontribusi positif, maka mereka akan merasa putus asa.

Artikel oleh: Logos Indonesia.