Logos Indonesia – Konformitas adalah fenomena yang akrab dalam kehidupan kita, terutama saat memasuki fase remaja. Saat menelusuri koridor-koridor sekolah atau berbaur dalam kerumunan teman-teman sebaya. Kita mungkin kamu merasa tekanan untuk “mencocokkan diri” atau berkonformitas dengan norma yang berlaku. Tidak jarang, kadang kita merasa harus menekan keunikan diri agar tidak merasa terpisah dan diasingkan.
Konformitas bukanlah fenomena baru dan bukan hanya remaja yang mengalaminya. Hal ini dapat terjadi dalam segala jenis konteks sosial dan di setiap tahap kehidupan kita. Namun seiring berjalannya waktu, kita sebagai remaja menjadi lebih rentan terhadap tekanan berkonformitas. Terutama karena peranan pentingnya dalam pembentukan identitas diri.
Melalui konformitas, banyak remaja belajar tentang norma dan aturan sosial. Mereka belajar bagaimana berperilaku dan berinteraksi dalam berbagai situasi sosial. Dengan demikian, ia memainkan peran penting dalam transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Namun, konformitas juga bisa menimbulkan tekanan yang berlebihan. Sehingga mendorong remaja untuk menyerah pada hal-hal yang mungkin bertentangan dengan nilai dan keyakinan mereka.
Konsep Konformitas
Konformitas itu seperti kita bersikap atau cara berpikir kita menyesuaikan dengan standar yang udah ditetapkan oleh suatu kelompok. Ada banyak tipe konformitas. Tapi dua yang paling umum adalah konformitas normatif dan konformitas informasi.
Konformitas normatif itu, misalnya kalo kita berbuat sesuatu cuma karena pengen diterima dan jadi bagian dari suatu kelompok. Jadi, kita merubah sikap atau pikiran kita supaya ‘fit in’ atau diterima di kelompok tersebut. Misalnya, kalo teman-temanmu suka nonton film horor, kamu mungkin akan nonton juga. Walaupun sebenarnya kamu takut. Itu namanya konformitas normatif.
Baca Artikel Kami Lainnya: Apa Itu Konformitas Dan Contoh Di Kehidupan Seharinya
Konformitas informasi sedikit berbeda. Ini lebih berdasarkan keinginan kita untuk benar dalam memahami sesuatu atau benar dalam melihat sesuatu. Contoh sederhananya. Kalo kamu lagi di kelas dan semua temanmu menjawab pertanyaan guru dengan jawaban A. maka kamu mungkin akan ikut menjawab A juga. Meskipun sebenarnya kamu berpikir jawabannya B. Ini karena kamu berpikir bahwa pendapat mayoritas mungkin lebih benar daripada pendapat kamu sendiri.
Jadi, konformitas bisa dilihat sebagai cara kita untuk ‘menyamakan frekuensi’ dengan orang-orang di sekitar kita. Baik itu untuk diterima dalam kelompok maupun untuk merasa benar dalam memahami dan menginterpretasi sesuatu.
Remaja dan Pencarian Identitas dalam Konformitas
Nah, waktu kita bicara tentang remaja dan pencarian identitas, teori konformitas bisa punya peran penting. Ingat, teman sebaya dan lingkungan sekitar menjadi dua faktor yang sangat berpengaruh dalam pembentukan identitas remaja. Nah, di sini, teori konformitas bermain.
Konformitas normatif, yang tadi kita bahas, itu kan bicara tentang keinginan kita untuk ‘fit in’ atau diterima di suatu kelompok. Di masa remaja, ini kerap terjadi. Remaja bisa jadi merubah perilaku atau cara pandang mereka agar sesuai dengan teman sebaya atau kelompok sosial lainnya. Jadi, mereka mungkin akan suka genre musik yang sama, gaya pakaian yang sama. Atau bahkan memiliki pendapat yang sama tentang isu-isu tertentu. Semua itu untuk bisa diterima dan merasa sebagai bagian dari kelompok.
Konformitas informasi juga berperan. Remaja sering mencari informasi atau pengetahuan baru untuk membantu membentuk identitas mereka. Nah, pada saat mereka merasa tidak yakin, mereka mungkin akan mengikuti apa yang mayoritas orang pikirkan atau percayai. Misalnya, ketika mereka tidak yakin tentang sikap mereka terhadap isu sosial tertentu. Maka mereka mungkin akan mengadopsi pendapat yang populer di kalangan teman-temannya.
Jadi, saat remaja mencari dan membentuk identitas mereka, teori konformitas bisa sangat berpengaruh. Mereka mungkin mengadopsi nilai, sikap, dan perilaku dari orang-orang di sekitar mereka. Baik itu keluarga, teman sebaya, atau masyarakat luas – sebagai bagian dari proses pembentukan identitas mereka.
Dampak Positif dan Negatif Konformitas pada Remaja
Konformitas itu kayak pisau bermata dua bagi remaja, khususnya dalam konteks pencarian identitas. Ada sisi positif dan negatifnya.
Di sisi positif, konformitas bisa membantu remaja untuk belajar dan mengembangkan kepribadian mereka sendiri. Misalnya, dengan bergaul dan ‘ikut arus’ dengan teman-temannya, remaja bisa belajar banyak hal. Mulai dari cara berkomunikasi, menilai situasi, sampai menghargai perbedaan.
Konformitas juga bisa jadi panduan untuk remaja dalam menemukan jati diri mereka. Misalnya, remaja mungkin merasa nyaman dengan sekelompok teman yang hobi menonton film horor. Nah, dari situ, ia bisa mengidentifikasi dirinya sebagai pecinta film horor. Jadi, konformitas bisa membantu remaja merasa diterima dan aman dalam proses mencari identitas mereka.
Tapi di balik itu, ada juga dampak negatif dari konformitas. Tekanan untuk terus mengikuti arus bisa berbahaya jika remaja merasa harus menutupi diri mereka yang sesungguhnya. Misalnya, jika mereka merasa harus menyukai film horor karena teman-teman mereka begitu. Padahal sebenarnya mereka takut. Hal itu bisa menghambat mereka untuk menjalani hidup mereka sendiri.
Jadi, penting untuk memahami bahwa konformitas itu sampai sejauh mana. It’s fine to fit in, tapi remaja juga perlu mendengarkan dan mengekspresikan jati diri mereka sendiri. Jangan sampai demi diterima, mereka jadi menyerah dan melupakan apa yang sesungguhnya mereka rasakan dan inginkan.
Baca Artikel Kami Lainnya: Bagaimana Faktor Psikologi Mempengaruhi Keputusan Kita?
Artikel oleh: Logos Indonesia.