Penjelasan Psikoanalisis Mengenai Gangguan Konversi. Seseorang Yang Tiba-tiba Sakit Fisik Tanpa Dasar Medis

Penjelasan psikoanalisis mengenai gangguan konversi. Seseorang yang tiba-tiba sakit fisik dan sembuh kembali tanpa pertolongan dokter.

Klinis3447 Views

Logos Indonesia Pernahkah kamu menemukan seseorang yang mengaku merasa sakit fisik, tapi ketika diperiksa oleh dokter tidak ada penyakit apapun dalam tubuhnya. Namun gejala sakit fisiknya itu benar-benar dirasakan oleh dirinya. Ia tidak berbohong mengenai rasa sakit pada tubuhnya. Namun mengapa ketika diperiksa oleh dokter, tubuhnya dalam keadaan sehat-sehat saja?

Hal ini mungkin terjadi bukan karena penyakit medis. Melainkan sensasi fisik akibat tekanan stres. Pada artikel ini kita akan membahas mengenai penyebab terjadinya gangguan konversi.

Baca Artikel Kami Lainnya: Mengenal Tentang Penyakit Psikologis Malingering Dan Gangguan Buatan.

Gangguan konversi adalah sensasi fisik secara nyata dirasakan oleh si pasien. Namun penyebab dari sensasi fisik itu tidak didasarkan pada penyakit medis melainkan tekanan psikologis seseorang. Mereka secara nyata benar-benar merasakan penyakit tersebut. Secara tidak sadar menginginkan suatu tujuan untuk menghindar dari kondisi stres maupun keuntungan yang menguntungkan dirinya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai penyebab gangguan konversi berdasarkan teori psikoanalisis.

Teori Psikoanalisis Dalam Menjelaskan Gangguan Konversi

Teori Psikoanalisis Dalam Menjelaskan Gangguan Konversi.

Dalam menjelaskan gangguan konversi, teori psikoanalisis memiliki peran penting terhadap faktor ketidaksadaran seseorang mempengaruhi gejala fisik yang dirasakan. Sebagai contoh, terdapat pasien yang suatu pagi ia terbangun dan menyadari bahwa tangan kirinya lumpuh. Hal yang pertama kali dilakukan adalah memeriksa secara medis. Namun tubuhnya sehat-sehat saja. Ketika kamu mendengar pernyataan orang tersebut mengenai tangannya yang tiba-tiba lumpuh. Apakah kamu akan langsung mempercayainya?

Kebanyakan orang akan menganggap bahwa dirinya mungkin saja berbohong. Terlihat dari rekam medisnya yang baik-baik saja namun mengaku jika tangannya lumpuh seketika. Jika ia berpura-pura lumpuh, maka ini disebut malingering. Namun jika tangan kirinya benar-benar lumpuh tanpa sebab medis. Maka mungkin saja hal ini dipengaruhi oleh proses ketidaksadarannya dalam mengkonversikan tekanan stresnya menjadi gejala fisik berupa kelumpuhan.

Jadi pada tingkat kesadaran ia mengatakan yang sebenarnya bahwa tangan kirinya benar-benar lumpuh. Namun pada tingkat ketidaksadarannya menyadari bahwa tangan kirinya dapat bekerja dengan normal.

Dalam studies in histeria, Breur dan Freud menjelaskan terjadinya gangguan konveksi. Menurut mereka, gangguan konversi terjadi akibat ketegangan emosi yang sangat besar seperti tekanan stres. Kemudian emosi negatif itu tidak diekspresikan dan hanya ditekan pada ketidaksadaran. Kemudian ingatan mengenai kejadian tersebut dihilangkan dari tingkat kesadaran. Namun masih bertahan di tingkat ketidaksadaran. Ingatan tersebut biasanya berkaitan dengan kejadian traumatis.

Sehingga kecemasan diubah atau dikonversikan menjadi simtom fisik. Secara tidak disadari menciptakan suatu penyakit atau kelumpuhan fisik memberikan keuntungan utama bagi si penderita untuk menghindari konflik psikisnya. Selain itu, mungkin saja si penderita mendapatkan keuntungan lainnya untuk bisa menghindar dari situasi yang tidak menyenangkan atau keuntungan atas perhatian dari orang lain.

Menurut Sackeim, dkk (dalam Davison, dkk, 2017) terdapat dua tahap sebagai reaksi pertahanan pada penderita gangguan konversi ini. Tahap pertama adalah pasien menginterpretasikan perseptual stimuli visual atau stimulus lainnya itu tidak diterima pada tahap kesadaran. Sehingga pasien tersebut akan mengaku bahwa dirinya benar-benar lumpuh tangan kiri atau kebutaan atau nyeri pada tubuhnya. Tahap kedua, walaupun stimuli tersebut tidak disadari, tapi informasi yang didapat dari stimulus tersebut diterima oleh persepsi perseptual mereka.

Jadi faktor kepribadian dan motivasi untuk menunjukkan bukti bahwa dirinya mengalami penyakit tersebut menjadi penting dalam menjelaskan gangguan konversi ini. Pada suatu kasus gadis remaja yang mengalami kebutaan pada pandangan tepi. Ia hanya mampu melihat sesuatu secara terbatas. Menurutnya penglihatannya ini seperti melihat pada lubang pipa yang kecil.

Baca Artikel Kami Lainnya: Mengenal Lebih Dalam Gangguan Konversi Dan Somatisasi.

Sackeim dan para koleganya menguji asumsi bahwa motivasi memegang peranan dalam membuktikan pasien menderita suatu penyakit yang ternyata gangguan konveksi. Hasilnya adalah peserta yang dimotivasi untuk membuktikan kebutaannya memberikan hasil yang buruk dibandingkan seseorang yang memberikan hasil secara kebetulan. Sedangkan penderita Gangguan Konversi yang tidak memiliki motivasi untuk membuktikan kebutaannya memberikan hasil yang lebih baik. Walaupun tetap dirinya mengaku bahwa dirinya buta.

Sehingga menurut Sackeim dan para koleganya, ucapan verbal dan perilaku sangat bertentangan pada penderita gangguan konversi. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak dapat melihat stimuli tersebut. Namun pada saat yang sama, ia menunjukkan bukti bahwa mereka dapat melihat tergantung pada motivasi untuk menutupi kebutaan itu.

Hal ini karena tidak ada seseorang yang menjawab semuanya salah, bahkan hasil yang kebetulan sekalipun. Seseorang yang menjawab secara kebetulan saja pasti memungkinkan untuk jawabannya ada yang benar. Lalu bagaimana bisa seseorang bisa menjawab semuanya salah. Pasti secara tidak sadar ia menyadari informasi stimulus tersebut dan menjawabnya dengan salah.

Kasus Gangguan Konversi

Terdapat kasus unik pada seorang pasien bernama Celia. Ia termasuk anak yang cerdas tapi pada suatu hari tiba-tiba mengaku bahwa penglihatannya kabur secara mendadak. Ia memperlihatkan gejala gangguan konversi, bahwa pada tes stimuli visual pada tingkat kesadaran memperlihatkan nilai yang buruk. Namun tes stimulus visual pada level ketidaksadarannya menunjukkan hasil yang baik.

Setelah 3 tahun mengalami gangguan konversi, Celia tiba-tiba pulih secara mendadak dan dramatis. Hal ini mungkin karena kebutuhan atas tujuan dari penglihatan yang buruk telah terpenuhi. Diketahui bahwa selama gangguan konversi Celia berlangsung, ia mendapatkan perhatian penuh dari orang tuanya. Hal ini sesuai dengan permasalahan Celia yang sebelum terjadinya gangguan konversi, orang tuanya selalu sibuk dan tidak memperhatikan dirinya.

Baca Artikel Kami Lainnya: Apa Itu Abnormalitas Dari Sisi Psikologi Sosial?

Davison, G.C., Neale, J. M., Kring, A. M. (2017). Psikologi Abnormal Edisi Ke-7. Depok: PT Raja Grafindo Persada.

Artikel oleh: Logos Indonesia.