Logos Indonesia – Coba bayangkan, kamu sedang berada di dua negara yang berbeda. Satu adalah negara maju dan lainnya adalah negara berkembang. Di setiap tempat, kamu melihat bagaimana orang-orang memutuskan untuk menikah dan berapa banyak anak yang mereka rencanakan. Ternyata, pandangan mereka tentang dua hal ini bisa sangat berbeda. Hal ini tergantung pada konteks sosial, budaya, dan ekonomi mereka. Penasaran dengan perbedaan tersebut? Nah, di sinilah kamu berada di tempat yang tepat! Artikel ini akan memberimu pandangan menarik tentang perbedaan negara maju dan negara berkembang dalam keputusan menikah dan memiliki anak.
Tapi sebelum itu, pernahkah kamu akan memikirkan bagaimana sebenarnya keputusan-keputusan tersebut bisa berbeda antara di negara maju dan negara berkembang? Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah ada faktor khusus yang mempengaruhi? Nah, bagaimana keputusan seperti ini dapat berbeda antara negara maju dan negara berkembang? Yuk kita mulai bahas dari pandangan dari perbedaan pandangan mengenai usia wajar menikah.
1. Umur Menikah
Di negara maju, budaya yang membebaskan serta fokus pada pendidikan dan karir membuat orang lebih sering menunda pernikahan. Sebagai contoh, di Amerika dan Eropa Barat, umumnya kamu akan melihat orang menikah di usia akhir 20-an atau bahkan 30-an. Menikah di usia muda kadang menjadi jarang terjadi. Karena orang ingin mengejar karir dan mencapai stabilitas finansial sebelum memulai keluarga. Jadi, kita sering mendengar kalimat seperti “belum siap menikah” atau “belum stabil untuk berkeluarga”, ya nggak?
Di sisi lain, di negara berkembang, keadaannya bisa sangat berbeda. Biarpun pendidikan dan pekerjaan tetap jadi prioritas. Tapi pernikahan dan memiliki anak juga penting banget. Misalnya, di banyak negara Asia dan Afrika, masuk akal untuk menikah di usia awal 20-an. Bahkan kadang ada yang menikah saat masih remaja. Hal ini bisa disebabkan oleh tradisi, tekanan keluarga. Ataupun keyakinan bahwa menikah muda akan memberikan waktu lebih lama untuk membina keluarga dan membesarkan anak.
Selain itu, di beberapa negara berkembang, akses terhadap pendidikan bagi perempuan mungkin lebih terbatas. Sehingga menikah dan memiliki anak lebih diutamakan daripada mengejar gelar sarjana atau pekerjaan dengan gaji tinggi. Jadi, kita kerap melihat pasangan menikah muda. Dalam beberapa kasus, pernikahan dini bisa dianggap sebagai norma.
Namun, perlu dicatat bahwa tren ini mulai berubah seiring dengan meningkatnya akses pendidikan dan kesadaran tentang pentingnya keluarga berencana. Beberapa negara berkembang mulai melihat peningkatan umur menikah dengan adanya program pemberdayaan perempuan. Dan kampanye kesadaran tentang pernikahan dini juga berkontribusi dalam program keluarga berencana. Tetap saja, perbedaan dalam keputusan umur menikah antara negara maju dan negara berkembang sangat jelas. Dan ini termasuk salah satu perbedaan utama antara keduanya.
2. Rencana memiliki anak
Di negara maju, keputusan untuk memiliki anak sering kali dipandang sebagai komitmen besar, dan bukan sesuatu yang diambil dengan enteng. Istilah “family planning” atau perencanaan keluarga mungkin sudah familiar, kan? Coba pikir lagi, seberapa sering kamu mendengar tentang konsep ini di TV, artikel, atau diskusi sehari-hari?
Di negara-negara ini penekanan kuat pada mengelola dan merencanakan jumlah anak yang akan kamu miliki cukup signifikan. Ini bukan hanya tentang memutuskan kapan memiliki anak, tapi juga berapa banyak anak yang mereka inginkan. Sehingga, tidak mengejutkan jika keluarga dengan satu atau dua anak bisa lebih sering kita lihat. Faktanya, di beberapa tempat, memiliki lebih dari dua anak bisa membuat orang around kamu agak terkejut.
Lain halnya dengan negara berkembang. Di mana memiliki banyak anak masih dilihat sebagai sesuatu yang bagus atau bahkan diharapkan. Meski ide perencanaan keluarga mulai dikenal dan diterima, angka kelahiran biasanya masih tinggi. Alasannya? Bisa jadi ini terkait dengan kebudayaan atau faktor ekonomi dimana memiliki banyak anak berarti lebih banyak tangan untuk bekerja. Jadi, wajar saja jika kamu melihat keluarga dengan tiga, empat, atau bahkan lebih banyak anak.
3. Dampak Sosial Ekonomi
Saatin kita bahas tentang pernikahan dan kelahiran, tentunya kita nggak bisa lepasin soal biaya, kan? Nah, di negara maju, biaya hidup, pendidikan, dan perawatan kesehatan bisa jadi cukup tinggi. Ketika kamu sering mendengar istilah ‘biaya kuliah’, ‘biaya asuransi’, atau ‘biaya rumah’. Biasanya ini terkait dengan alasan kenapa banyak orang di sana memutuskan untuk punya anak dalam jumlah yang lebih sedikit. Ataupun jika di rasa perlu mereka bisa menunda untuk menikah.
Sementara itu, di negara berkembang, kendati biaya hidup juga menjadi pertimbangan. Tapi ada faktor lain yang jadi pertimbangan besar, yaitu tekanan sosial. Tiada hari tanpa pertanyaan dari keluarga atau masyarakat seperti “Kapan nikah?” atau “Kapan punya anak?”. Jadi, wajar aja jika keputusan menikah atau memiliki anak lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial daripada ekonomi.
Singkat cerita, menikah atau memiliki anak adalah keputusan besar yang dipengaruhi oleh berbagai factor. Mulai dari sosial, ekonomi, sampai budaya. Tapi satu hal yang pasti, apa pun pilihan kamu, itu adalah bagian penting dari perjalanan hidupmu. Jadi, yang terpenting adalah kamu membuat keputusan dengan pikiran terbuka dan hati yang tulus, ya!
Tetap ingat. Semua orang memiliki perjalanan dan keputusan hidup yang unik. Jadi, apa pun pilihannya, yang terpenting adalah kamu merasa nyaman dan bahagia dengan keputusan yang kamu buat.
Baca Artikel Kami Lainnya: Langkah Penting Penyembuhan: Menerima Gangguan Mental Bagi Penderita
Baca Artikel Kami Lainnya: Apa Itu Mindful Eating? Cara Menikmati Makanan dengan Penuh Makna Hidup
Artikel oleh: Logos Indonesia.