Sejarah Stendhal Syndrome: Karya Seni yang Indah Tapi Mematikan

Asal mula nama Stendhal Syndrome berasal dari pengarang Prancis abad ke-19, Stendha. Yang menggambarkan pengalaman pribadinya.

Klinis2587 Views

Logos IndonesiaSiapa yang tidak terpesona dengan keindahan karya seni? Namun, apa yang terjadi jika karya seni yang kita nikmati ternyata memiliki dampak negatif, bahkan mematikan bagi beberapa orang? Inilah fenomena yang dikenal sebagai Stendhal Syndrome. Stendhal Syndrome adalah sebuah kondisi unik yang menyoroti fakta bahwa keindahan bisa menjadi bumerang. Dalam artikel ini, kita akan membahas asal-usul, perkembangan, serta kemungkinan bahaya yang ditimbulkan oleh sindrom ini..

Stendhal Syndrome, juga dikenal sebagai penyakit estetika. Kondisi ini termasuk sindrom psikosomatik. Karena gejalanya mirip dengan psikosomatik. Seperti detak jantung tidak beraturan, pusing, dan pingsan saat menghadapi karya seni dengan keindahan yang luar biasa. Tidak hanya karya seni, sindrom ini bahkan bisa terjadi saat kita berada di tempat yang sangat indah. Seperti situs bersejarah atau bangunan megah. Tak banyak yang tahu tentang sindrom ini. Sehingga kita perlu saling menyadari efek dan risiko yang ditimbulkan oleh Stendhal Syndrome bagi mereka yang terkena dampaknya.

Asal mula nama Stendhal Syndrome berasal dari pengarang Prancis abad ke-19, Stendha. Yang menggambarkan pengalaman pribadinya mengenai kondisi ini setelah mengunjungi Basilika Santa Croce di Florence, Italy pada tahun 1817. Sejak itu, banyak kasus yang dilaporkan mirip dengan kondisi yang dialami Stendhal. Tentunya sejarah dan kaitannya dengan karya seni membuat Stendhal Syndrome menjadi topik yang menarik dan penting bagi kita. Mari bersama kita kaji lebih jauh tentang sindrom ini dan perjalanan sejarahnya yang menarik.

Asal Mula Stendhal Syndrome

Stendhal Syndrome, tanpa disadari, sudah cukup lama malang melintang dalam dunia kesehatan mental meski tidak banyak diketahui orang. Seorang pengarang Prancis bernama Marie-Henri Beyle. Atau lebih dikenal dengan pseudonym-nya. Stendhal adalah orang pertama yang mendokumentasikan gejala sindrom ini. Apa yang terjadi pada Stendhal?

Pada tahun 1817, Stendhal melakukan perjalanan ke Florence, Italia. Saat berkunjung ke Basilika Santa Croce. Ia merasa begitu terpukau dengan keindahan seni yang ditemukannya di sana. Reaksinya terhadap seni-seni tersebut begitu hebat hingga ia mengalami gejala-gejala seperti jantung berdebar-debar, pusing berat, dan bahkan hampir pingsan. Pengalaman ini kemudian ia tulis dalam bukunya yang berjudul “Naples and Florence: A Journey from Milan to Reggio”.

Stendhal sendiri menggambarkan pengalaman ini sebagai “fenomena ketakutan vulkanis yang hanya bisa dihadapi oleh orang-orang yang sangat peka dengan keindahan”. Perlu kita sadari bahwa konteks budaya dan sejarah saat itu berpengaruh terhadap persepsi Stendhal dan orang-orang lainnya tentang sindrom ini. Pada masa itu, banyak orang melihat keindahan dan seni sebagai sebuah pengalaman yang sangat luhur, dan bahkan spiritual.

Di era tersebut, seni dan sejarah dianggap sebagai dua hal yang begitu sacral dan memiliki kedalaman makna. Bagi mereka, seni bukan hanya tentang keindahan, tapi juga tentang pengalaman yang mendalam yang bisa mempengaruhi jiwa dan pikiran seseorang. Meskipun saat itu belum memahami fenomena ini sebagai sebuah sindrom. Namun pengalaman Stendhal menjadi jejak awal untuk kita memahami Stendhal Syndrome sebagaimana yang kita ketahui saat ini.

Perkembangan Stendhal Syndrome

Sejalan dengan perjalanan waktu, pemahaman kita tentang Stendhal Syndrome terus berkembang. Meski awalnya hanya dianggap sebagai kepekaan luar biasa terhadap seni, sindrom ini perlahan dikenali sebagai kondisi medis. Setelah Stendhal membagikan pengalamannya, tak sedikit orang yang melaporkan pengalaman serupa. Beberapa kasus bahkan menuntun kepada kejatuhan fisik dan kebingungan mental yang parah. Akhirnya, kita mulai berpikir, apa sebenarnya yang terjadi?

Stendhal Syndrome mulai mendapat perhatian yang serius pada tahun 1989. Seorang psikiater Italia bernama Dr. Graziella Magherini mencatat dan mengevaluasi ratusan pasien di Rumah Sakit Santa Maria Nuova di Florence. Pasien tersebut menunjukkan gejala mirip dengan yang dialami oleh Stendhal. Mayoritas pasien ini adalah turis yang baru saja mengunjungi museum atau situs bersejarah di kota tersebut. Inilah titik dimana sindrom ini mulai diperlakukan sebagai kondisi medis yang sebenarnya.

Namun, seperti banyak kondisi yang kompleks dan jarang, ada tantangan dalam mengakui dan menerima Stendhal Syndrome di kalangan medis. Terlebih lagi sindrom ini sering kali memicu perdebatan tentang batas antara kepekaan seni dan kondisi psikopatologis. Walau begitu, pengakuan medis terhadap Stendhal Syndrome cukup membantu dalam memberi penjelasan dan panduan bagi orang-orang yang mengalami gejala-gejalanya. Dengan pemahaman yang lebih baik, kita bisa membantu mereka dalam menemukan metode penanganan yang tepat dan efektif.

Stendhal Syndrome: Antara Keindahan dan Ketakutan

Fenomena Stendhal Syndrome sejatinya menunjukkan sebuah paradoks yang cukup aneh. Bagaimana mungkin sesuatu yang seindah seni dapat menjadi sesuatu yang mematikan? Seharusnya seni memberikan kedamaian, kebahagiaan, dan inspirasi, bukan rasa takut atau berbahaya bagi kesehatan kita, bukan?

Namun, itulah yang terjadi dalam Stendhal Syndrome. Keindahan seni atau tempat bersejarah dengan wujud dan maknanya yang mendalam bisa memicu reaksi emosional dan fisik. Biasanya sampai-sampai mengakibatkan gejala-gejala mirip sindrom panik. Individu yang paling rentan mengalami sindrom ini biasanya adalah orang-orang yang memiliki kepekaan estetik yang tinggi. Ataupun mereka yang sedang mengalami stres emosional yang besar.

Baca Artikel Kami Lainnya: Ini Tandanya Kamu Mengalami Misophonia

Stendhal Syndrome sebenarnya memperlihatkan sebuah kenyataan tentang bagaimana kita sebagai manusia memiliki batas dalam mencerna keindahan. Batas itu tentu saja berbeda-beda di setiap individu. Ada orang yang bisa menikmati keindahan seni tanpa merasa terganggu. Namun ada pula yang bisa merasakan dampak yang cukup parah seperti yang terjadi dalam Stendhal Syndrome.

Jadi, meski tampak paradoks, Stendhal Syndrome justru menunjukkan pada kita bahwa keindahan bukanlah sesuatu yang bisa kita generalisir. Bagi sebagian orang, keindahan bisa memberikan inspirasi dan kebahagiaan. Namun untuk sebagian yang lain, keindahan bisa menjadi sumber stres dan rasa takut. Terlepas dari itu semua, yang terpenting bagi kita adalah mencari cara terbaik untuk mengapresiasi dan menghargai keindahan seni. Selain itu, memahami bagaimana mengendalikan reaksi kita terhadapnya.

Baca Artikel Kami Lainnya: Tantangan Menghadapi Misophonia di Tempat Kerja: Ini Tips Mengatasinya

Artikel oleh: Logos Indonesia.