Kenapa Negara Maju Memilih Tidak Punya Anak?

Apa yang membuat orang di negara-negara maju lebih memilih untuk tidak memiliki anak? Di artikel ini, kita akan mengupas secara lebih dalam

Keluarga, Sosial3154 Views

Logos IndonesiaKamu mungkin pernah melihat berita atau membaca artikel yang menunjukkan tren menurunnya tingkat kelahiran di negara-negara maju. Mengapa hal ini terjadi? Apa yang membuat orang di negara-negara maju lebih memilih untuk tidak memiliki anak? Di artikel ini, kita akan mengupas secara lebih dalam dan mendetail alasan di balik fenomena ini. Sehingga kamu bisa lebih memahami berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan mereka.

Tren penurunan tingkat kelahiran di negara-negara maju tidak hanya menjadi perhatian yang langsung terlibat dalam kebijakan keluarga dan perencanaan kependudukan. Tapi juga untuk kita semua. Kondisi ini memunculkan tantangan baru, mulai dari dampak pada perekonomian, sistem kesehatan, hingga kemungkinan masalah sosial di masa depan. Kita akan menggali topik ini lebih dalam untuk menemukan beberapa alasan. Mengapa orang di negara-negara maju memilih untuk menghindari tanggung jawab sebagai orangtua. Biar kita bisa lebih mengerti bagaimana keputusan ini, pada akhirnya, akan mempengaruhi dunia yang kita tinggali.

1.    Karier dan Pendidikan Prioritas Utama

Bagi kebanyakan orang di negara maju, fokus utama mereka adalah mengembangkan karier dan pendidikan. Di masa lalu, kita mungkin akrab dengan konsep bahwa setelah menyelesaikan sekolah. Biasanya waktunya untuk menikah dan berkeluarga. Namun, pola pikir tersebut sekarang sudah mulai bergeser.

Kini, banyak orang yang rela menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengejar gelar pendidikan tinggi. Bahkan mereka berpikir perlunya membangun karier yang sukses sebelum memikirkan tentang membentuk keluarga. Akibatnya, usia mereka untuk berkeluarga pun menjadi lebih lambat. Pada titik tersebut, banyak yang berpikir memiliki anak berarti harus mengorbankan karier dan kehidupan pribadi yang sudah susah payah dibangun.

2.    Hidup di Negara Maju Itu Mahal

Sudah bukan rahasia lagi kalau biaya hidup di negara maju itu jauh lebih mahal. Mulai dari biaya sewa rumah, tagihan listrik, harga bahan makanan, hingga transportasi. Semuanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di negara berkembang.

Ketika kita bicara soal “financially ready” untuk memiliki anak. Di negara maju ini bukan hanya sekadar ungkapan. Ini adalah suatu realitas yang harus dihadapi. Mereka harus memikirkan berbagai hal, seperti biaya pengasuhan, biaya Pendidikan.  Bahkan kebutuhan lainnya yang harus dipenuhi agar anak mereka bisa memiliki kehidupan yang layak. Jadi, di negara maju biaya pengeluaran untuk anak merupakan hal yang sangat perlu dipertimbangkan dengan matang sebelum memutuskan memiliki anak.

Terlebih lagi, adanya hutang pendidikan yang harus dibayar baik oleh orang tua maupun anak-anak mereka. Membuat banyak orang enggan untuk menambah beban hidup dengan memiliki anak. Seperti yang kita tahu, biaya pendidikan di negara maju sangat tinggi. Sehingga ini menjadi salah satu pertimbangan yang tidak bisa diabaikan.

3.    Tidak Ingin Memiliki Tanggung Jawab Tambahan

Lulus sekolah dan memasuki dunia kerja membawa banyak tantangan dan tanggung jawab baru. Ketika harus menambah anak ke dalam persamaan hidup, tantangan tersebut bertambah. Dari mengasuh anak hingga mengurus kebutuhan mereka, itu semua membutuhkan waktu, energi, dan tentunya, uang.

Tidak heran jika banyak orang, khususnya generasi muda di negara maju. Mulai memandang memiliki anak sebagai beban tambahan dalam hidup mereka. Mereka melihat betapa sulitnya menjadi orangtua dengan melihat pengalaman orang lain di sekitar mereka.

Banyak dari mereka yang lebih memilih untuk fokus pada diri mereka sendiri daripada harus memikirkan dan mengurus orang lain. Mereka ingin menikmati kehidupan mereka sebebas mungkin. Seperti bepergian kapan saja mereka inginkan, mengejar karier mereka. Intinya, menikmati waktu luang tanpa harus terikat dengan tanggung jawab sebagai orangtua.

4.    Trauma Pada Kehidupan Berkeluarga

Pengaruh masa lalu dalam sebuah keluarga. Ada kalanya, pengalaman pahit atau trauma di masa lalu bisa menjadi bayang-bayang yang begitu pekat. Dan ini berpengaruh dalam pengambilan keputusan kita di hari ini, termasuk soal punya anak atau tidak.

Coba pikirkan, pasti kamu tahu beberapa teman atau mungkin orang-orang di sekelilingmu yang punya cerita keluarga yang kurang bahagia. Cedera emosional, atau trauma masa kecil yang tidak pernah benar-benar hilang. Mereka mungkin harus merasakan dampak negatif dari perceraian orang tua, keluarga disfungsional, bahkan pengalaman kekerasan dalam rumah tangga.

Nah, karena pengalaman-pengalaman tersebut, bisa jadi mereka merasa takut, gengsi, atau bahkan trauma untuk membuka babak baru sebagai orang tua. Kalau kamu pernah mendengar kalimat seperti, “Aku takut jadi orang tua yang buruk seperti orangtuaku,” atau “Aku nggak mau anakku merasakan apa yang pernah aku rasakan,”. Nah, itulah gambaran kongkritnya. Mereka yang punya pemikiran seperti ini biasanya memilih untuk tidak punya anak demi mencegah sejarah buruk terulang kembali. Dia merasa lebih baik tidak punya anak, daripada harus membiarkan anaknya nanti merasakan pahitnya pengalaman yang sama.

Menarik bukan? Kita seringkali berpikir bahwa memiliki anak adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Tapi tampaknya di negara maju, perspektif ini mulai bergeser. Tentunya, setiap orang punya alasan dan pilihan sendiri dalam hidup, termasuk dalam hal ini. Keputusan untuk memiliki atau tidak memiliki anak adalah pilihan pribadi dan harus dihormati.

Baca Artikel Kami Lainnya: Sistem Pendidikan Terbaik di Dunia: Pelajaran dari Finlandia

Baca Artikel Kami Lainnya: Inilah 5 Pesan Tersirat Sebelum Melakukan Bunuh Diri

Artikel oleh: Logos Indonesia.