Logos Indonesia – Aphantasia, suatu istilah yang mungkin asing terdengar di telinga kita. Ini bukan nama sebuah planet atau sejenis kue manis, lho. Aphantasia adalah kondisi ketika seseorang tidak bisa membayangkan atau berimajinasi dalam pikirannya. Tentunya, berbeda dengan kita yang bisa membayangkan suasana pantai dengan ombak yang tenang dan pasir putihnya ketika disuruh menutup mata. Mereka tidak bisa membayangkan hal itu sama sekali.
Baca Artikel Kami Lainnya: Gangguan Mental yang Sering Dialami Orang Kaya
Soal kejadiannya, Aphantasia ini ternyata tidak begitu jarang lho. Meski angka pastinya masih menjadi perdebatan. Beberapa studi menunjukkan bahwa sekitar 1-3% dari kita yang mengalami kondisi ini. Jadi, bisa dibilang ada kemungkinan kamu mengenal seseorang dengan Aphantasia dan bahkan tidak menyadarinya sampai dia sendiri yang bicara. Nah, untuk lebih mengerti tentang Aphantasia, yuk kita bahas lebih dalam lagi dalam artikel ini.
Proses Imajinasi dalam Otak
Sebelum kita masuk kepada Aphantasia, alangkah baiknya jika kita memahami dulu bagaimana otak kita bekerja dalam menghasilkan imajinasi. Bisa nggak kamu bayangkan sekarang kalau kamu sedang makan es krim coklat yang sedap? Yup, inilah kerja imajinasi kita. Tapi bagaimana caranya otak kita bisa membuat gambaran es krim tersebut?
Setiap kali kita berimajinasi, sebenarnya sedang terjadi proses kognitif yang kompleks di dalam otak kita. Otak kita mengambil informasi dari apa yang pernah kita lihat, rasakan, dengar, atau alami sebelumnya. Lalu menggabungkannya semua menjadi sebuah gambaran atau ‘bayangan’ di pikiran kita. Bayangan inilah yang jadi acuan saat kita berimajinasi. Jadi, bisa dibilang kalau otak kita itu seperti seniman yang pandai berkreasi, lho.
Proses Neural yang Terlibat
Kalau sudah bicara soal otak, pastinya ada yang namanya proses neural, atau proses yang melibatkan saraf di otak. Dalam proses imajinasi, banyak bagian otak yang bekerja sama. Beberapa yang utama adalah lobus frontal, yang bertugas dalam proses berpikir dan membuat keputusan. Dan lobus parietal, yang mengatur persepsi kita terhadap lingkungan.
Nah, apa hubungannya dengan memori? Jadi, saat kita berimajinasi, otak kita sebenarnya sedang ‘menelusuri’ memori yang ada. Otak kita akan mengambil elemen-elemen dari memori tersebut untuk dibentuk menjadi gambaran baru.
Penyebab dan Faktor Risiko Aphantasia
A. Faktor Genetik
Sampai saat ini, penelitian tentang hubungan Aphantasia dan genetik masih terus berlangsung. Meski belum ada bukti kuat, beberapa penelitian menunjukkan ada kemungkinan sebagian kecil kasus Aphantasia berkaitan dengan faktor genetik.
B. Cedera atau Trauma Otak
Selain faktor genetik, ada juga kemungkinan bahwa cedera atau trauma otak bisa menjadi pemicu Aphantasia. Bayangkan jika bagian otak kita yang bertugas dalam proses imajinasi tadi mengalami gangguan. Maka bisa jadi fungsinya pun terhambat. Termasuk kemampuannya untuk berimajinasi. Tapi tentu saja, ini bukan berarti semua orang yang pernah alami cedera otak langsung mengalami Aphantasia. Setiap kondisi berbeda-beda dan banyak faktor lain yang mempengaruhi.
C. Faktor Lingkungan
Ternyata bukan cuma soal genetik atau kondisi kesehatan. Lingkungan di sekitar kita juga bisa berpengaruh terhadap kemampuan otak kita untuk berimajinasi. Misalnya, paparan stres jangka panjang atau trauma emosional bisa mempengaruhi bagaimana otak kita bekerja, termasuk dalam hal imajinasi.
Jadi, bisa dikatakan kalau Aphantasia itu bukan hasil dari satu penyebab saja, melainkan perpaduan dari beberapa faktor.
Strategi Adaptasi dan Dukungan
A. Penggunaan Bahasa dan Metode Komunikasi Alternatif
Meski Aphantasia memiliki tantangan tersendiri, tetap ada banyak cara untuk beradaptasi dan mengkomunikasikan pikiran serta ide-ide kita. Berikut beberapa strategi yang bisa digunakan:
- Gunakan Deskripsi Verbal yang Rinci: Jika kamu sulit memvisualisasikan, coba gunakan kata-kata untuk menjelaskan konsep atau ide yang ingin kamu sampaikan. Buatlah narasi atau cerita untuk membantu kamu mengingat dan menjelaskan sesuatu.
- Ciptakan Simbol atau Metode Non-Visual: Kamu juga bisa menciptakan simbol sendiri untuk menggantikan visualisasi. Misalnya, jika sulit mengingat wajah seseorang, kamu bisa menuliskan deskripsi fisik mereka atau mengaitkannya dengan sesuatu yang mudah diingat.
- Gunakan Gestur dan Bahasa Tubuh: Gestur dan bahasa tubuh bisa menjadi alat komunikasi yang kuat untuk melengkapi kata-kata. Kamu bisa memperlihatkan reaksi atau menampilkan suatu konsep dengan cara ini.
- Manfaatkan Teknologi: Ada banyak aplikasi dan alat digital yang bisa membantu kamu dalam komunikasi sehari-hari. Seperti pengingat, perekam suara, atau aplikasi catatan digital.
B. Penggunaan Sumber Daya Visual
Kalau kamu kesulitan memvisualisasikan dalam pikiran, kamu bisa menggunakan alat visual fisik. Berikut beberapa caranya:
- Buatlah Sketsa atau Gambar: Kamu bisa mencoba menggambar ide atau konsep yang sedang kamu pikirkan. Tak perlu sempurna, cukup gambaran dasar untuk membantu kamu mengingat hal tersebut.
- Gunakan Diagram dan Peta Pikiran: Alat-alat ini bisa sangat membantu dalam memahami dan menganalisis informasi. Dengan membuat diagram atau peta pikiran, kamu bisa ‘melihat’ hubungan antar ide secara jelas.
- Manfaatkan Aplikasi dan Software Visual: Ada banyak aplikasi dan perangkat lunak yang memungkinkan kamu membuat diagram, flowchart, atau gambaran lainnya untuk membantu proses pemikiran.
Terakhir, ingatlah bahwa setiap orang berbeda dan yang penting adalah menemukan metode yang paling efektif untukmu. Jadi, jangan ragu untuk mencoba berbagai strategi hingga kamu menemukan yang paling tepat.
Baca Artikel Kami Lainnya: Tips Membentuk Mental Yang Kuat: Agar Tidak Mudah Merasa Cemas Saat Menghadapi Permasalahan
Artikel oleh: Logos Indonesia.