Inilah Strategi dan Dampaknya dari Psychological Pricing

Pahami strategi dan dampaknya dari Psychological Pricing. Maka kita bisa menjadi konsumen yang lebih cerdas.

Logos Indonesia – Coba bayangkan. Kamu berjalan kaki menyusuri jalanan pusat perbelanjaan sambil menikmati cahaya kota yang berkelap-kelip. Mata kamu kemudian menangkap suatu pemandangan. Terdapat sebuah toko dengan penawaran spesial, produk favoritmu berhargai 29.990 bukan 30.000. Hmm, tampak lebih murah, bukan? Atau ketika ada tanda besar “DISKON 50%” di toko sepatu, tiba-tiba kamu merasa seolah-olah penawaran itu terlalu bagus untuk dilewatkan. Nah, itulah saatnya kamu ‘terjebak’ dalam apa yang kita sebut ‘Psychological Pricing’.

Apa Itu Psychological Pricing?

Psychological Pricing adalah suatu taktik penentuan harga yang ditujukan untuk mempengaruhi persepsi konsumen. Cara ini tidak hanya sekedar memberikan informasi biaya produk atau layanan tersebut. Strategi ini bermain-main dengan persepsi dan emosi kita dalam membuat keputusan pembelian. Kita seringkali membuat keputusan berdasarkan apa yang “terasa” seperti penawaran yang menarik, bukan apa yang memberikan nilai terbaik bagi kita. Lalu, bagaimana cara kita menerapkan strategi Psychological Pricing ini?

Strategi dalam Menerapkan Psychological Pricing

Ada berbagai cara dalam menerapkan Psychological Pricing. Salah satunya adalah “Charm Pricing”. Dalam strategi ini, harga ditetapkan sedikit di bawah harga bulat. Misalnya, menjual barang dengan harga 99,999 bukan 100,000. Mengapa ini berhasil? Karena kita cenderung mengabaikan digit paling belakang dan hanya menyimak angka pertama.

Strategi lain yang juga populer adalah “Prestige Pricing”. Di sini, harga barang dibulatkan ke angka bulat terdekat. Hal ini berkesan mengomunikasikan kualitas, prestis dan kemewahan. Masih banyak lagi strategi lainnya yang bisa digunakan. Beberapa di antara sebagai berikut:

1. Charm Pricing

Strategi pricing ini adalah yang paling umum digunakan. Dalam Charm Pricing, harga suatu produk biasanya ditetapkan sedikit di bawah harga bulat. Misalnya, menjual barang dengan harga 99,999 dibandingkan dengan 100,000. Hal ini berpengaruh ke pikiran konsumen, di mana mereka cenderung melihat angka pertama dan mengabaikan angka terakhir. Jadi, harga 99,999 akan dirasa lebih murah dibandingkan 100,000.

2. Prestige Pricing

Strategi ini bertentangan dengan Charm Pricing. Dalam Prestige Pricing, harga barang biasanya dibulatkan ke angka yang paling dekat. Dalam strategi ini, produk berharga 100,000 akan dirasakan sebagai barang berkualitas tinggi dibandingkan produk seharga 99,999. Strategi ini biasanya efektif untuk produk-produk mewah dan eksklusif. Di mana konsumen cenderung mengaitkan harga tinggi dengan kualitas yang tinggi.

3. Pricing Anchoring

Pricing Anchoring adalah strategi dimana penjual menetapkan harga referensi (atau “anchor”). Yang biasanya lebih tinggi untuk membuat harga sebenarnya tampak lebih menarik. Misalnya, jika kamu melihat sepatu berharga 500,000 yang diskon menjadi 300,000. Kamu mungkin akan merasa bahwa sepatu itu adalah penawaran yang bagus.

Lazada memasarkan sepatu olahraga dengan harga aslinya Rp 800.000 dan diskon menjadi Rp 500.000. Penampilan harga awal lebih tinggi dapat meyakinkan konsumen bahwa mereka mendapatkan penawaran yang lebih baik.

4. Odd-Even Pricing

Dalam Odd-Even Pricing, penjual menetapkan harga produk di nomor ganjil atau genap untuk mempengaruhi persepsi harga. Misalnya, penjualan produk dengan harga 4,999 atau 5,001 daripada 5,000. Sebagai contoh, Restoran cepat saji menawarkan paket hemat dengan harga Rp 49.500, bukan Rp 50.000. Konsumen biasanya menganggap harga Rp 49.500 lebih murah karena angka pertama lebih rendah, padahal selisih harga hanya Rp 500.

5. Price Lining

Price Lining adalah strategi yang menetapkan harga produk dalam kategori yang sama untuk menciptakan persepsi variasi. Misalnya, kamu mungkin menjumpai toko pakaian yang menawarkan baju dengan kualitas yang berbeda, yaitu 100,000; 200,000; dan 300,000.

Sebagi contoh, suatu toko pakaian menetapkan harga produk dalam kategori yang sama sebagai berikut:

Kaos polos:

Rp 99.000 untuk kualitas standar

Rp 199.000 untuk kualitas lebih tinggi

Jaket:

Rp 299.000 (dengan kualitas standar)

Rp 499.000 (dengan kualitas lebih tinggi)

Price Lining ini memudahkan konsumen dalam memilih produk sesuai dengan keinginan dan kemampuan yang mereka miliki.

6. Penawaran Value Bundling

Penyediaan paket produk biasanya digunakan untuk menciptakan persepsi nilai. Sebagai contoh, menjual buku dengan harga 50,000 per buku. Tapi jika kamu membeli empat maka harganya menjadi 150,000. Dengan cara ini, konsumen merasakan bahwa mereka mendapatkan lebih banyak nilai.

Sebagai contoh, restoran Pizza menawarkan paket dengan 1 pizza ukuran besar, 1 spaghetti, dan 4 minuman seharga Rp 200.000. Dibandingkan membeli secara individual: pizza ukuran besar Rp 105.000, spaghetti Rp 40.000, dan minuman Rp 20.000 per gelas (Rp 80.000 untuk 4 gelas yang akan menjadi total Rp 225.000). Dalam paket ini konsumen akan merasa mereka mendapatkan penawaran yang menguntungkan.

Dampak dari Menerapkan Psychological Pricing

Nah sekarang, apa dampaknya bagi kita semua? Salah satu dampaknya adalah kemungkinan kita menghabiskan lebih banyak uang untuk membeli barang yang mungkin tidak kita perlukan. Selain itu, Psychological Pricing bisa membentuk persepsi nilai yang tidak selalu sejalan dengan realitas produk tersebut.

Baca Artikel Kami Lainnya: Menyeimbangkan “Emosional Sponge” Menjadi Lebih Stabil

Namun, dengan pemahaman yang lebih baik tentang Psychological Pricing, kita juga bisa menjadi konsumen yang lebih cerdas. Yang lebih memahami nilai sebenarnya dari barang yang kita beli. Dalam dunia bisnis yang serba kompetitif. Strategi seperti Psychological Pricing bisa membedakan antara bisnis yang berhasil menarik perhatian konsumen atau yang gagal melakukannya. Jadilah konsumen yang lebih cerdas.

Baca Artikel Kami Lainnya: Apakah ENFJ dan INFJ Lebih Rentan Menjadi Emosional Sponge?

Artikel oleh: Logos Indonesia.