Bagaimana Otak Kita Merespon Saat Keadaan Terancam?

Bagaimana Otak Kita Merespon Saat Keadaan Terancam? Reaksi awal dimulai di amigdala, bagian otak kita yang bertanggung jawab atas rasa takut.

Biopsikologi715 Views

Logos Indonesia – Berada dalam situasi di mana kita merasa terancam bukanlah pengalaman yang menyenangkan, bukan? Bayangkan jantung berdebar-debar, tubuh berkeringat dan segala macam perasaan aneh lainnya. Tapi bagaimana sebenarnya otak dan tubuh kita merespon dalam keadaan seperti itu? Yuk kita coba pahami bersama-sama.

Kita semua tentu tidak asing dengan istilah “berjuang atau lari”, respons yang kita aktifkan saat merasa terancam. Nah, di balik semua itu ternyata banyak proses yang berjalan dalam otak dan tubuh kita. Lalu, apa yang membuat kita merasa merinding? Tahukah kamu kalau semua itu adalah hasil dari bagaimana otak kita merespon ancaman?

Bagaimana Otak Merespon Saat Keadaan Terancam?

Ketika kita merasa terancam, otak kita sebenarnya sedang bekerja keras. Reaksi awal dimulai di amigdala, bagian otak kita yang bertanggung jawab atas rasa takut. Amigdala merespons dengan mengirim sinyal ke hipotalamus, membangkitkan sistem saraf otonom (SSO) kita. SSO ini terdiri dari sistem saraf simpatik dan parasimpatis—respons ‘lawan atau lari’ ada di yang pertama.

Sistem simpatis ‘memicu’ kelenjar adrenal untuk melepaskan katekolamin, termasuk adrenalin dan noradrenalin. Hal ini membuat detak jantung kita melesat dan laju pernapasan meningkat. Kemudian aliran darah dialihkan ke otot rangka, dan pencernaan kita berhenti. Tapi, ketika ancaman mereda, cabang parasimpatis dari sistem saraf kita kembali bekerja, memulihkan semua fungsi kembali normal.

Untuk memudahkan kita memahami mengenai otak kita merespons saat keadaan terancam, maka akan lebih baik untuk langsung kepada contoh penerapan. Sebagai gambaran umum. Kita sedang berjalan di taman ketika tiba-tiba kita melihat seekor ular di depan kita. Proses berikut terjadi dalam otak kita dan di seluruh tubuh kita:

  1. Mendeteksi ancaman: Otak kita dengan cepat mengidentifikasi ular sebagai ancaman potensial. Proses ini dimulai di amigdala, yang merupakan pusat emosi otak.
  2. Mengaktifkan respons “lawan atau lari”: Amigdala mengirimkan sinyal ke hipotalamus yang merangsang sistem saraf otonom. Ini mengaktifkan sistem saraf simpatik yang kemudian akan memicu pelepasan adrenalin dan noradrenalin. Yang akan menghasilkan perubahan fisiologis, seperti detak jantung yang lebih cepat dan paru-paru yang bekerja lebih cepat.
  3. Penilaian lingkungan: Otak kita akan dengan cepat mengevaluasi situasi, seperti mengukur jarak antara kita dan ular. Kita mencari tahu apakah ada jalur melarikan diri yang aman atau benda yang bisa digunakan untuk melindungi diri.
  4. Keputusan “lawan atau lari”: Berdasarkan penilaian cepat kita terhadap situasi, kita mungkin memutuskan untuk melarikan diri dari ular. Dalam beberapa kasus, mungkin mencoba menghadapinya dengan bantuan batang pohon atau bebatuan (sangat tidak disarankan tanpa pengetahuan yang memadai).
  5. Pemulihan: Setelah kita merasa aman dan jauh dari ancaman, sistem saraf parasimpatik akan mengendalikan tubuh kita kembali ke keadaan normal. Disinilah detak jantung dan pernapasan kita melambat kembali normal.

Dalam contoh ini, kita dapat melihat bagaimana otak kita secara efektif merespon keadaan terancam. Memungkinkan kita untuk mengambil keputusan yang cepat dan langkah-langkah yang tepat untuk melindungi diri kita dari bahaya yang potensial.

Psikis Kita dalam Menghadapi Ancaman

Secaras psikis, reaksi kita terhadap ancaman bisa berbeda-beda. Ada yang lansung berubah menjadi agresif dan memilih untuk ‘melawan’. Ada juga yang lebih memilih untuk ‘lari’ atau menghindar. Ini semua tergantung pada bagaimana pengalaman masa lalu kita membentuk respon kita terhadap situasi yang serupa. Karenan respon psikis kita saat menghadapi keadaan terancam biasanya melibatkan sejumlah perubahan emosi, kognitif dan perilaku.

Pertama, individu biasanya merasakan emosi negatif yang intens, seperti takut, cemas, atau marah. Dilansir dari Halodoc, emosi ini bisa meluap dan bisa saja diarahkan pada orang-orang di sekitar kita atau bahkan objek fisik. Kadang-kadang, ini dapat melibatkan perilaku seperti melemparkan barang-barang atau memarahi orang.

Selanjutnya, orang mungkin mengalami perubahan kognitif. Misalnya, mereka mungkin merasakan ketegangan pikiran, tidak bisa berpikir dengan jernih, atau bahkan mungkin merasa sulit untuk fokus. Keadaan terancam juga dapat memicu pikiran negatif atau mengganggu tentang situasi atau tentang kemampuan seseorang untuk mengatasinya.

Untuk mengatasi perasaan ini, orang akan mencoba beragam strategi adaptif dan maladaptif. Menurut HelloSehat, beberapa orang mungkin mencoba untuk mengalihkan perhatian mereka ke aktivitas lain. Seperti bekerja atau melakukan kegiatan hobi, untuk mengurangi perasaan cemas. Di sisi lain, beberapa orang mungkin malah mengisolasi diri dari orang lain. Atau menghindari situasi yang membuat mereka merasa tidak aman.

Namun, jika kondisi ancaman ini berkelanjutan, individu dapat mengalami stres berkepanjangan. Yang dapat berdampak serius pada kesehatan mental mereka. Kondisi ini dapat melibatkan gangguan seperti gangguan stres pasca-trauma (PTSD), kecemasan, atau depresi.

Tubuh Kita dalam Menghadapi Ancaman

Kita juga merasakan perubahan fisik pada tubuh yang cukup nyata. Perubahan-perubahan ini melibatkan berbagai organ tubuh, sebagai upaya untuk mempersiapkan tubuh dalam menjawab ancaman.

  • Mata: Pupil kita melebar, menyerap lebih banyak cahaya dan memperjelas penglihatan.
  • Telinga: Pendengaran kita menjadi “lebih tajam”.
  • Jantung: Denyut jantung meningkat dan pembuluh darah koroner melebar.
  • Kulit: Menjadi pucat dan wajah kita memerah.
  • Otot: Menegang, siap untuk beraksi.
  • Perut: Mungkin mengalami mual.
  • Pikiran: Berpacu, membuat kita sulit berkonsentrasi pada hal lain.
  • Rasa Sakit: Persepsi kamu tentang rasa sakit, sementara berkurang.

Seiring berjalannya waktu, setelah merasa aman dari ancaman, tubuh kita akan kembali normal dalam waktu 20-60 menit.

Terlepas dari semua ini, ingatlah bahwa setiap orang memiliki cara mereka sendiri dalam merespon stres atau ancaman. Apa yang kita rasakan mungkin berbeda dari yang dirasakan orang lain. Jadi, jangan pernah merasa perlu untuk membandingkan diri kamu dengan orang lain.

Baca Artikel Kami Lainnya: Terapkan Ini, Bisa Membuat Dirimu Memiliki Mental Sekuat Baja
Baca Artikel Kami Lainnya: Kenapa Setiap Orang Memiliki Kadar Resiliensi yang Berbeda-beda?

Artikel oleh: Logos Indonesia.

Comment