Kecanduan Media Sosial Lebih Sulit Diatasi daripada Pecandu Narkoba

Dampak psikologis yang disebabkan oleh platform digital bisa lebih sulit untuk di atasi dibandingkan adiksi alkohol atau narkoba.

Logos Indonesia – Sebuah kenyataan yang sulit diterima makin santer mengemuka, yaitu kecanduan media sosial ternyata lebih sulit diatasi daripada narkoba. Menurut laporan yang dilansir dari BBC. Dampak psikologis yang disebabkan oleh platform digital seperti Facebook dan Snapchat bisa lebih sulit untuk dirawat dibandingkan adiksi lainnya. Seperti alkohol atau narkoba. Bukan hanya itu, bahkan kecanduan ini disebut lebih parah. Bukankah cukup mengejutkan?

Pada keseharian, kita cukup sering melihat orang-orang di sekitar kita yang tanpa henti mengecek ponselnya. Mungkin itu adalah kamu, orang di sebelah pada angkutan umum, atau bahkan teman sebelah meja di kantin. Semuanya serupa; matanya tertuju pada layar ponsel, mengecek notifikasi, atau menggulir timeline media sosial. Ini seolah menjadi aktivitas wajib, hingga tanpa sadar menjelma menjadi kebiasaan tak terpisahkan dari rutinitas.

Ketika kamu melakukan aktivitas sehari-hari terasa kurang lengkap tanpa membuka media sosial, atau merasa cemas dan gelisah. Itulah kecanduan sedang berbicara. Belum lagi, ketika waktu yang seharusnya digunakan untuk beristirahat atau melakukan kegiatan produktif lainnya. Justru terkuras untuk berlama-lama di media sosial.

Alasan Kecanduan Media Sosial Lebih Sulit Diatasi daripada Pecandu Narkoba

Dampak psikologis dari kecanduan media sosial bisa lebih sulit untuk diatasi dibandingkan kecanduan substansi seperti alkohol atau narkoba. Dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang merasa bahwa kecanduan media sosial adalah hal biasa dan tidak berbahaya. Jadi penanganannya sering kali diabaikan. Sedangkan untuk kecanduan narkoba, umumnya orang lebih menyadari dampak buruknya. Sehingga penanganannya lebih serius dan lebih terstruktur.

Sehingga stigma negative terhadap kecanduan narkoba dan alkohol sudah terbentuk di masyarakat, membuat orang lebih berhati-hati. Sementara itu, media sosial lebih menarik dan tidak memiliki stigma negatif seperti narkoba atau alkohol.

Bayangkan media sosial seperti keripik kentang yang enak. Di sisi lain, narkoba, alcohol, bahkan rokok sudah jelas bahayanya jika di konsumsi secara berlebihan . Kita semua tahu bahaya merokok, dan ada sangat banyak peringatan soal dampak buruknya. Sementara keripik kentang, ya nggak ada yang peringatkan soal bahayanya kan? Malah rasanya enak, bikin ketagihan, dan kita bisa makan terus tanpa merasa salah atau khawatir. Tapi, dalam jangka panjang, keripik tersebut bisa berdampak buruk juga loh, seperti kolesterol tinggi atau obesitas.

Itulah gambaran sederhana dari kalimat “Adiksi media sosial lebih kuat dari narkoba”. Media sosial itu seperti keripik tadi, tampak tak berbahaya dan enak-enak saja. Tapi, jika sudah kecanduan, dampak buruknya untuk mental dan kehidupan sehari-hari bisa lebih sulit diatasi. Kenapa lebih sulit? Karena kebanyakan dari kita nggak sadar kalau sudah kecanduan media sosial dan tidakmerasa perlu untuk berhenti atau menguranginya.

Penyebab Kecanduan Media Sosial: Internal dan Eksternal

Untuk memahami kecanduan media sosial yang lebih sulit diatasi ini, perlu kita tahu apa saja yang menjadi pemicunya. Menurut penelitian, faktor penyebabnya bisa dibagi menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal meliputi jenis kelamin, harga diri, dan perasaan kesepian. Sementara faktor eksternal mencakup dukungan sosial, lingkungan tempat tinggal, dan pengalaman yang membuat stres.

Bicara soal jenis kelamin, penggunaan internet antara pria dan wanita memang berbeda. Wanita misalnya, cenderung lebih sering menggunakan media sosial untuk berinteraksi dengan orang lain. Sementara pria, umumnya lebih banyak menggunakan internet untuk hiburan seperti bermain game. Perbedaan tersebut sebenarnya normal, namun dapat menjadi masalah jika intensitasnya sudah mencapai titik kecanduan.

Baca Artikel Kami Lainnya: Eksplorasi Muscle Memory dalam Seni Pertunjukan

Harga diri dan perasaan kesepian juga berperan. Misalnya, seseorang dengan harga diri rendah mungkin menggunakan media sosial sebagai wadah untuk mendapatkan pengakuan dan validasi eksternal. Yang bisa berakibat pada kecanduan. Begitu pula orang yang merasa kesepian. Mungkin merasa bahwa dunia maya memberikan penghiburan dan konektivitas. Sehingga dia terus menggali dan merasa sulit untuk melepaskannya.

Faktor eksternal juga tak kalah penting. Dukungan sosial, lingkungan tempat tinggal, dan pengalaman yang menyebabkan stres juga ikut mempengaruhi. Orang yang merasa tidak mendapatkan dukungan cukup dalam kehidupan nyata, mungkin akan mencari dan merasa didukung dari komunitas online. Hal ini yang pada akhirnya bisa menjadi pemicu kecanduan.

Kita Bisa, Kok! Melawan Kecanduan Media Sosial

Dari paparan di atas, tentu kita menjadi semakin paham bahwa adiksi media sosial bukanlah hal yang sepele. Ini adalah isu keseharian yang perlu kita sadari dan tangani. Meskipun dikatakan lebih sulit diatasi, itu bukan berarti kita tidak bisa melawannya, bukan?

Dalam menyikapi ini, pertama-tama kita harus sadar bahwa media sosial memang diciptakan untuk membuat kita terpaku. Namun, tak berarti kita harus terpaku selamanya dan biarkan diri terjebak dalam pusaran adiksi. Setiap hari, cobalah luangkan waktu untuk “detoks” dari gawai dan media sosial. Kamu bisa memulai dengan mengurangi durasi penggunaan, atau mencoba beberapa hari tanpa media sosial.

Yakinlah bahwa kita memiliki kendali atas diri sendiri dan cara kita menggunakan teknologi dan media sosial. Kuncinya ada pada kesadaran dan pengendalian diri. Mari kita gunakan media sosial sebagai alat untuk memperkaya dan mempermanis hidup, bukan sebaliknya. Mari kita jadikan media sosial sebagai penguat kehidupan kita, bukan penentu hidup kita.

Baca Artikel Kami Lainnya: Mengatasi Kebiasaan Buruk Dengan Menerapkan Konsep Muscle Memory
Artikel oleh: Logos Indonesia.

Comment