Kenapa Kita Sering Merasa Tidak Yakin Setelah Mengambil Keputusan?

Kenapa Kita Sering Merasa Tidak Yakin Setelah Mengambil Keputusan? Faktor Emosi, Loss Aversion dan Availability Heuristic.

Biopsikologi, Sosial2387 Views

Logos Indonesia – Ada kalanya kita merasa tidak yakin setelah mengambil keputusan. Padahal, baru saja kita merasa begitu yakin dengan pilihan yang kita buat. Kondisi seperti ini sering terjadi dan bikin kita bertanya-tanya, kenapa ya?

Jadi coba kamu pikirkan, seberapa sering kamu merasa tidak yakin setelah mengambil keputusan dan berakhir bertanya-tanya pada diri sendiri. “Apakah saya sudah melakukan yang benar?” Jika kamu mengalami hal seperti ini, tak perlu khawatir. Kita semua pernah berada di posisi di mana kita merasa tidak yakin dengan keputusan yang telah kita ambil. Nah, mari kita bahas lebih mendalam apa saja yang bisa menjadi penyebabnya.

Keraguan kita setelah mengambil keputusan bisa dipengaruhi oleh berbagai hal. Nah, di artikel ini, kita akan mencoba memahami faktor-faktor yang membuat kita merasa tidak yakin setelah mengambil keputusan.

Bisa jadi, rasa tidak yakin itu datang dari dalam diri kita sendiri. Kita bisa saja merasa tidak yakin karena ada hal-hal yang kita abaikan saat mengambil keputusan. Atau, bisa juga karena kita merasa belum mempertimbangkan semua opsi yang ada. Apapun itu, mari kita bahas beberapa factor seperti factor emosional, perasaan takut kehilangan (loss aversion), dan availability heuristic. Mari kita bahas satu per satu.

Faktor Emosi

Kenali Apa Emosi Yang Kamu Rasakan

Para psikolog berpendapat bahwa ada dua jenis emosi yang bisa memengaruhi cara kita mengambil keputusan yaitu emosi positif dan negatif. Emosi positif yang terlalu bersemangat seringkali membuat kita kurang menyadari dampak setelah memutuskan sesuatu. Semangat yang berlebihan ini bisa membuat kita kurang mempertimbangkan dampak yang akan dihasilkan dari keputusan tersebut. Setelah kita sadar akan dampaknya, barulah rasa tidak yakin itu muncul.

Sebagai contoh, seseorang merasa sangat bersemangat tentang ide bisnis baru. Kepercayaan dirinya tinggi dan dia segera memutuskan untuk berinvestasi, tanpa melakukan pengecekan menyeluruh tentang prospek dan risiko bisnis tersebut. Setelah semuanya berjalan, barulah dia mulai meragukan keputusannya karena beberapa aspek yang dia lewatkan mulai muncul.

Di sisi lain, ada juga emosi negative. Seperti rasa cemas, takut, atau ragu, yang bisa memicu kita mengambil keputusan secara impulsive. Hasilnya, keputusan yang dibuat bisa jadi kurang matang dan berpotensi membuat kita merasa tidak yakin.

Sebagai contoh, seseorang yang sedang mengalami tekanan kerja tinggi memutuskan untuk mundur dari pekerjaannya setelah hari yang sangat buruk. Keputusan ini diambil dalam keadaan emosi tinggi dan tanpa pertimbangan yang mendalam. Ketika emosinya mereda, dia mulai meragukan apakah itu adalah pilihan yang tepat.

Loss Aversion

Berbelanja secara implusif.

Loss aversion, atau rasa takut kehilangan, juga bisa jadi satu alasan kenapa kita merasa tidak yakin setelah mengambil keputusan. Kita mungkin merasa jika terlalu lama memikirkan, kita akan kehilangan kesempatan. Nah, rasa takut ini bisa mendorong kita untuk mengambil keputusan terlalu cepat tanpa memikirkannya secara matang.

Sebagai contoh, seseorang mendapat penawaran promosi terbatas untuk tiket liburan. Dia takut jika terlalu banyak berpikir, tiket tersebut akan habis. Jadi, dia segera membeli tiket tersebut tanpa mempertimbangkan jadwalnya dengan matang. Setelah pembelian, dia merasa tidak yakin apakah dapat mengambil liburan pada waktu tersebut.

Availability Heuristic

Photo by Pixabay@ Felix Wolf

Selain dua faktor di atas, ada juga yang namanya availability heuristic. Ini adalah kecenderungan kita untuk mengambil keputusan berdasarkan informasi pertama yang kita lihat. Sayangnya, informasi pertama tidak selalu yang paling akurat atau biasanya kurang lengkap. Akibatnya, kita bisa merasa tidak yakin setelah mengambil keputusan.

Sebagai contoh, seseorang memutuskan untuk membeli mobil berdasarkan penilaian pertama, yaitu desain mobil. Dia tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti efisiensi bahan bakar, perawatan, atau kenyamanan berkendara. Setelah pembelian, dia mulai merasa tidak yakin mengingat berbagai aspek yang dia abaikan.

Factor Apa Yang Paling Berperan Dalam Mengambil Keputusan?

Gejala Social Anxiety Disorder

Berdasarkan penemuan dari berbagai sumber, disimpulkan bahwa emosi berperan dominan dalam proses pengambilan keputusan. Yang mana sering kali ditandai dengan penyesalan setelah keputusan diambil. Sebuah studi menunjukkan bahwa kondisi emosi positif sering kali mendorong individu untuk mengambil keputusan dengan resiko tinggi. Artinya, adanya peningkatan level optimisme yang tidak didasari pada kemungkinan penyesalan yang lebih besar akibat pengambilan keputusan yang kurang baik.

Namun, perlu ditekankan bahwa semua faktor memiliki potensi masing-masing untuk membuat seseorang merasa menyesal setelah mengambil keputusan. Setiap individu memiliki pengalaman dan latar belakang yang berbeda-beda. Maka ada baiknya setiap individu belajar mengenali pola pengambilan keputusannya sendiri. Tujuannya untuk mengetahui faktor apa yang paling sering membuat dirinya menyesal dalam mengambil keputusan.

Pahamilah bahwa rasa tidak yakin setelah mengambil keputusan adalah hal yang wajar. Itu adalah bagian dari proses belajar kita dalam memahami diri sendiri. Dan juga cara kita membuat keputusan. Yang penting, jangan biarkan rasa tidak yakin itu menghambat kita untuk terus mengambil keputusan.

Sesekali, bolehlah kita merasa tidak yakin. Namun, keyakinan kita pada diri sendiri dan pilihan yang sudah kita buat haruslah kita pahami lebih dalam.

Baca Artikel Kami Lainnya: Psychology of Marketing: Bagaimana Iklan ‘Merayu’ Kita?
Baca Artikel Kami Lainnya: Inilah Strategi dan Dampaknya dari Psychological Pricing

Artikel oleh: Logos Indonesia.