Mengulas Tragedi Kanjuruhan dari Kacamata Psikologi

Kasus studion Kanjuruhan membawa berita sedih yang menewaskan 134 korban. Banyak korban akibat penyiraman gas air mata yang dilakukan petugas

Berita1896 Views

Logos Indonesia Pada tanggal 1 Oktober 2022, kita semua di hebohkan dengan berita kericuhan pertandingan sebak bola di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Saat itu, Arema FC melamawan Persebaya dengan skor akhir 2-3. Namun Aremania, fans Arema FC tidak terima dengan hasil akhir tersebut. Para suporter Arema turun dan mashk ke dalam area lapangan sebagai aksi protes.

Ternyata, aksi protes ini menimbulkan kericuhan antar suporter maupun dengan petugas pengamanan disana. Ketika situasi mulai tidak kondusif, par petugas pengaman disana berusaha menghentikan kericuhan tersebut dengan menyemprotkan cairan gas air mata kepada penonton bola saat itu. Kepanikan penontonpun terjadi dan semakin lama semakin tidak terkendali.

Dampak Gas Air Mata Pada Korban

Banyak dari mereka yang menjadi korban dalam peristiwa ini. Para korban banyak yang mengatakan bahwa dampak akibat gas air mata adalah sesak napas.

Berdasarkan informasi dari kompas, Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS (CDC), jika terkena gas air mata memiliki dampak serius bagi mata. Mulai dari luka ringan seperti mata perih dan mata kemerahan, mata terasa panas, pandangan kabur. Sampai dengan kasus yang lebih serius, dapat merusak saraf mata dan bisa sampai menyebabkan kebutaan.

Dampak yang di terima korban Stadion Kanjuruhan ini sebagai besar adalah mata merah, mata terasa panas dan sedikit kabur. Hal ini karena petugas pengamanan menyemprotkan gas air mata di tempat yang tertutup dan kondisi saat itu banyak suporter bola. Sehingga sebagain besar dari mereka terkena gas air mata, kemudian panik. Mereka lagi ke pintu kelur, tapi pintu tidak sepenuhnya terbuka lebar. Dalam keadaan panik, banyak dari mereka yang terinjak-injak dan menimbulkan luka ringan hingga serius.

Korban Kanjuruhan Yang Meninggal Bertambah Satu

Berdasarkan informasi dari Tempo, pada hari Jumat, tanggal 21 Oktober 2022, korban Kanjuruhan yang meninggal bertambah satu. Sehingga total saat ini berjumlah 134 korban. Laporan sebelumnya tanggal 18 Oktober 2022, tercatat terdapat 133 korban.

Mengulas Tragedi Kanjuruhan

Belajar dari tragedi Kanjuruhan ini, sebenarnya kita bisa ulik melalui perspektif psikologi loh teman-teman. Perilaku suporter yang protes, kemudian diikuti oleh suporter lainnya merupakan perilaku konformitas teman-teman. Sedangkan tindakan agresif akibat kepanikan penonton, bisa di jelaskan dengan teori agresi – frustasi.

kericuhan kanjuruan, dok. kompas oleh Suci Rahayu
kericuhan kanjuruan, dok. kompas oleh Suci Rahayu

Perilaku Konformitas

Kita mulai dari perilaku konformitas. Konformitas menurut Ringgio (2009), konformitas adalah tindakan seseorang yang harus mengikuti atau menyesuaikan diri terhadap norma-norma yang ada dalam kelompok. Atau bahasa mudahnya, “ikut-ikutan kelompoknya”. Pelaku konformitas ini, terkadang tidak mengetahui alasanya kenapa ia melakukan hal tersebut. Karena yang ia pahami adalah hanya mengikuti aturan yang ada di kelompoknya. Pada tragedi Kanjuruhan, awalnya hanya satu orang saja yang melakukan protes dan masuk ke area lapangan. Namun tidak lama kemudian banyak dari para suporter yang sama, mengikuti tindakannya. Pemicu perilaku konfromitas ini adalah rasa solidaritas antar sesama suporter yang sama-sama mendukung Arema FC.

Teori Agresi – Frustasi

Teori agresi – frustasi ini merupakan jawaban dari mengapa banyak sekali korban jiwa Stadion Kanjuruhan dari penyemprotan gas air mata yang dilakukan oleh petugas pengamanan.

Menurut Dollar, Doob, Miller, Mawrer, & Sears (1939) menjelaskan agresi berasal dari perasaan frustasi. Dan perasaan frustasi ini menimbulkan agresi. Bisa di simpulkan, bahwa tindakan agresif dikarenakan adanya perasaan frustasi. Nah, frustasi ini disebabkan oleh tidak tercapai suatu tujuan yang ingin diraih atau keadaan yang menyakitkan.

Pada kasus kericuhan Stadion Kanjuruhan, situasi yang tercipta saat itu adalah frustasi itu sendiri. Orang-orang yang terkena gas air mata akan merasa panik.  Mereka tidak bisa berpikir jernih karena rasa kesaksian akibat gas air mata. Kepanikan ini menaksa mereka berusaha untuk keluarga dari rasa sakit mereka. Akhirnya, tindakan seperti berlari menuju pintu keluar menjadi solusi di benak pikiran mereka. Namun, kenyataan pintu keluar itu hanya terbuka sedikit. Rasa frustasi mulai meningkat, sehingga perilaku saling dorong untuk bisa keluar studio menjadi  pilihan mereka. Sayangnya, saat berlarian menuju pintu dan dorong mendorong menimbulkan korban jiwa. Perilaku agresif mulai dilakukan untuk bisa keluar dari Stadion Kanjuruhan. Banyak yang di larikan ke rumah sakit terdekat untuk bisa dilakukan penanganan secara medis. Bagi petugas pengaman di sana juga bisa meredam tindakan agresif ini dengan tidak meicu tindakan kekerasan itu.

Dari kasus Stadion Kanjuruhan ini, kita bisa belajar, bahwa menang dan kalah tidaklah berarti apa-apa jika merugikan banyak orang. Sebaliknya, sikap saling menghargai satu sama lain dan menerima kenyataan bahwa tim yang didukungnya kalah secara adil merupakan tindakan yang baik.

Karena itu, mari teman-teman kita mulai bisa menjaga ketertiban umum dan saling menghargai satu sama lain ya.

 

Artikel oleh: Logos Indonesia

Comment